Tuesday, December 13, 2011

Pendidikannya Setinggi Apa?

Pagi pertama di Kwandang. Suasananya tentu jauh berbeda dengan Jakarta yang sudah cukup sibuk meski sang mentari masih malu-malu menampakkan diri. Di sini, pukul 6 pagi belum banyak aktivitas yang dilakukan. Bahkan jalan raya di depan kost yang saya tempati masih amat lengang.

Beruntung saya tinggal di samping sebuah warung makan. Meski penjualnya tak menyajikan menu makan malam -saya harus ke desa tetangga untuk mengganjal perut kemarin malam- tapi ada menu sarapan berupa nasi kuning dengan taburan bihun berisi potongan ikan di dalamnya yang baru akan "berasa" jika ditambah rica (sambal) super pedas.

Saat membayar sarapan seharga Rp 2500 itu, saya berkenalan dengan sang penjual nasi kuning. Namanya Bu Erna. Saya kemudian menjelaskan bahwa selama sebulan ke depan akan menetap di bumi serambi Madinah ini. Dan komentar beliau yang membuat saya tertegun adalah, "Saya membayangkan, pendidikannya setinggi apa sampai bisa sampai ke sini?"


Kwandang,
8 Desember 2011 Read More..

Wednesday, December 7, 2011

Berawal Dari Tarbiyah

Membayangkan kehidupan selama hampir satu bulan di pulau seberang sempat membuat saya khawatir. Bagaimanakah biaya hidup dan sosiokultur masyarakat di sana? Beruntung dalam pesawat yang membawa saya ke kota tujuan, saya berkenalan dengan seorang ummahat, "ahlan wa sahlan," katanya sembari melukis senyuman di wajah teduhnya.

Obrolan pun mengalir hingga kami bertukar nomor telepon. Dan sebelum take off dan handphone dimatikan, saya mendapati ibu itu menghubungi kawannya. "ini ada dua akhwat dari Jakarta bla bla bla," katanya. MasyaAllah, (mungkin) hanya dengan melihat jilbab saya yang terjulur menutup dada, begitu loyalnya ia dalam memberikan bantuan.

Alhamdulillah. Perjalanan hari ini dihiasi kemudahan melalui orang-orang baik yang bahkan belum pernah dikenal sebelumnya. Dan mengingat kejadian di pesawat pagi tadi entah mengapa membuat saya teringat sebuah ungkapan: "Tarbiyah bukan segalanya, tapi segalanya bermula dari tarbiyah".

Kwandang,
7 Des 11 pk. 22.55 wita

#EpisodeGorontalo Read More..

Tuesday, November 22, 2011

Semua Akan Terlewati, Saudari

Bila bertemu kesusahan, Allah mendidik tentang sabar.
Bila bertemu kesenangan, Allah mengajarkan arti kesyukuran.
Allah mendidik pada setiap masa dan peristiwa.

.
.
.

"Aku mungkin juga nggak akan mampu kalau berada di posisimu. Setiap orang kan punya kesanggupan yang berbeda," balasmu saat kurasa betapa masalah yang kuhadapi tidak lebih berat dibanding apa yang sedang kau hadapi kini.

Tapi kita sama-sama tahu, kan, saudari? Bahwa apapun persoalan yang sedang menyita waktu, tenaga, bahkan pikiran kita ini, suatu saat akan terlalui. Bahwa pundak kita akan selalu kuat menahan beban yang seringkali kita sangsikan dapat terpecahkan dengan mudah. Padahal, asal kita yakin bahwa bersama kesulitan pasti ada kemudahan, maka sesulit dan seberat apapun beban hidup kita, semua akan berlalu. Saat airmata menjelma tawa. Saat kesedihan berbuah bahagia. Saat kita tersenyum dan dengan lantang berkata, "That's life!"

Dan kita hanya perlu memperkaya rasa untuk lebih bijak menjalani semua ini.

-zee- Read More..

Sunday, November 20, 2011

Sejuta Kepala Dengan Sejuta Permasalahan

Siapa yang tidak pernah mendapatkan masalah? Rasanya aneh jika setiap orang tidak pernah memiliki masalah. Masalah tetap akan menghampiri kita meski kita berusaha dengan keras untuk menjauhi masalah. Bahkan, jika kita masih berpikir bahwa kita tidak memiliki masalah, kita telah menjadi orang yang bermasalah. Bermasalah karena merasa bahwa kita tidak memiliki masalah.

Setiap orang pasti memiliki masalah. Jika ada satu juta orang, maka terdapat minimal satu juta permasalahan untuk masing-masing orang. Mungkin akan ada permasalahan yang sama yang dialami oleh dua orang yang berbeda. Akan tetapi, pastinya akan ada permasalahan lain yang membedakan keduanya. Ada yang mendapatkan permasalahan kecil, tetapi ada juga permasalahan yang membuat seeorang susah untuk tidur.

Saya sendiri lebih senang memakai kata ujian untuk menggambarkan permasalahan yang sedang kita hadapi. Sepertinya kata itu lebih tepat. Ujian memang akan dihadirkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya. Semuanya telah tercatat dengan baik di Lauh Mahfudzh, bahkan sebelum kita terlahir ke dunia.

“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfudzh) sebelum Kami Mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. al-Hadid [57] : 22)

Ujian dapat dikatakan sebagai sebuah parameter ketakwaan seorang hamba kepada Rabb-nya. Allah SWT menguji kita dengan banyak hal, seperti kemiskinan, kelaparan, kesusahan, kegelisahan, ketakutan, melalui teman kita, keluarga kita, dan harta benda kita. Bahkan, kebahagiaan pun dapat menjadi sebuah ujian bagi kita. Terlalu bahagia terkadang membuat kita kurang bersyukur. Kita baru mengingat Allah SWT ketika kesulitan menghampiri. Dan ujian hadir untuk menunjukkan sedekat apa kita dengan Sang Pencipta.

Roda kehidupan akan terus berputar. Kadang, kita merasa berada pada kondisi yang sangat nyaman. Namun, tak jarang kita merasa berada pada suatu masa yang benar-benar sulit. Kita akan sering diuji di titik-titik terlemah kita. Ada yang titik terlemahnya berupa rasa cinta kepada lawan jenisnya hingga melebihi rasa cintanya kepada Allah SWT. Ada pula yang selalu dihadirkan ujian berupa hati yang lalai untuk menjalankan amanah yang diberikan kepadanya. Dan sekali lagi, ketakwaan kita diuji melalui sebuah mekanisme bernama ujian.

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), padahal Allah belum Mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. at-Taubah [9] : 16)

Alangkah arifnya jika kita bisa mengambil pelajaran dari setiap ujian yang Allah berikan. Kita pun tak menjadi takut jika ujian datang menghampiri kita. Hal tersebut disebabkan karena kita yakin bahwa ujian tersebut datang dari Allah SWT dan akan menaikkan derajat ketakwaan kita jika kita dapat mengatasinya. Allah SWT menjadi sebaik-baik tempat kembali. pasrahkan segala usaha yang telah kita lakukan kepadaNya.

Dan yakin bahwa “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka, apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhan-mulah engkau berharap.” (QS. al-Insyirah [94] : 6-8)

***
Lenteng Agung,
2 Januari 2010 pk. 02.05 wib
Untuk saudari-saudariku dengan permasalahannya masing-masing
Semoga kalian bersabar dengan ujian dari-Nya. Aamiin.


Dipublish di eramuslim pada Minggu, 17/07/2011 pk. 10:55 WIB. Tulisan lama yang diposting kembali.
Read More..

Pesan Untuk Para Ibu

“Mamah Bego.. Bego..”

Belum sampai sepuluh menit aku duduk di selasar masjid kampusku, seorang bocah laki-laki berusia sekitar 7 tahun mengalihkan pandanganku. Ucapannya sungguh kasar. Terlebih kalimat itu ditujukan untuk ibunya. Aku memperhatikan aksi ibu dan anak itu. Anaknya dalam posisi berdiri, terlihat masih tampak kesal sedangkan sang ibu duduk sambil memandang sang anak, sedih.

Sang ibu yang menyadari diriku sedang menatap ke arah mereka langsung berujar, “Maklum Mba, anak yatim. Nggak sempat dapet didikan bapaknya.”

Aku hanya tersenyum menanggapi penjelasannya. Masih tak mengerti hal apa yang menyebabkan sang anak berkata demikian. Aku pun memutuskan untuk tak terlalu peduli dan kembali ke dalam aktivitasku. Tapi ternyata keterkejutanku tak berhenti sampai di situ. —Jarak mereka yang begitu dekat dengan posisi dudukku, membuatku berulang kali menoleh ke arah mereka.—

Saat itu sang ibu meminta tolong kepada anaknya untuk dibelikan segelas kopi. Sebenarnya kopi bubuknya sudah ada. Ibu itu hanya meminta air panas pada penjual kopi yang biasanya berjualan di pinggir danau dekat kampus. Awalnya sang anak menolak. Lagi-lagi dengan bahasa yang tak sopan.

Suaranya lebih tinggi dibanding ibunya. Agak malas, akhirnya sang anak pun beranjak pula. Tapi sayang, baru sampai di dekat parkiran, sang anak kembali lagi pada ibunya. Dia bilang penjual kopinya tidak ada. Sudah diberi penjelasan oleh ibunya kalau penjualnya itu baru ada kalau si anak berjalan ke arah danau, tapi si anak justru kembali marah-marah. Dilemparnya sebungkus kopi itu ke lantai.

Ibu itu masih belum menyerah. Dicobanya kembali untuk membujuk sang anak. Berhasil. Anaknya pun hilang dari pandangan kami (berjalan menuju danau). Ibu itu pun mulai bercerita padaku tentang dirinya. Tinggal di mana, maksud dan tujuannya ke kampus, dan tentang keluarganya. Hingga beberapa menit kemudian sang anak kembali.

“Mah, gelasnya tumpah..” katanya polos.

Loh, kok bisa? Aku sungguh tak mengerti dengan kelakuan sang anak. Sedikit prasangka buruk mulai menggelayuti benakku. Menurut ceritanya, karena gelas plastik itu panas, maka ia tak kuat untuk memegangnya hingga tumpahlah kopi dalam gelas itu. Bahkan sang anak tak membawa bukti gelas yang kosong. Hanya tatapan yang meyakinkan. Entahlah. Yang pasti aku terenyuh oleh kata-kata sang ibu. Lirih.

“Coba kalo dede’ hatinya ikhlas buat ibu, jadi nggak tumpah..”

Tapi belum lama kekagumanku pada si ibu itu memasuki ruang hatiku, perasaan itu lalu berganti oleh sebab doanya yang membuatku miris.

“Biar nanti kamu celaka lama-lama kayak gitu..”

Astaghfirullah…

Duhai ibu, taukah kau bahwa doamu itu sangat mustajab? Berhati-hatilah dalam menjaga lisanmu. Seburuk apapun perangai sang anak, janganlah mendoakan yang buruk untuknya. Doakan yang terbaik. Mintalah kesabaran dan hati yang lapang. Hanya Allah yang mampu memberikan hidayah pada sang anak untuk juga mencintaimu. Untuk berbakti padamu. Hingga kemudian amalan shalihnya menjadi amal jariyah untukmu.

Jabir Ibnu Abdullah ra telah mengatakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:
“Janganlah kalian mendoakan kebinasaan terhadap anak-anak kalian; janganlah kalian mendoakan kebinasaan terhadap pelayan kalian; dan janganlah pula kalian mendoakan kemusnahan terhadap harta benda kalian agar jangan sampai kalian menjumpai suatu saat dari Allah yang di dalamnya semua permintaan diberi, kemudian (doa) kalian diperkenankan.”—HR Muslim.

Allah memberikan ujian bagi para istri yang telah ditinggal pergi suaminya. Ujian kesabaran. Ujian ketegaran. Seberapa kuat ia menjaga kehormatannya. Seberapa ia mampu mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Hingga meski sang anak tak sempat mendapat pendidikan dari bapaknya, tak lantas menjadikan sang ibu berlepas tangan dari tanggung jawab tersebut.

Jangan pernah menyalahkan keadaan yang sulit. Jangan pula mengeluhkan sikap anak yang terlihat nakal. Bukankah anak, senakal apapun, adalah amanah Allah untuk para orangtua? Titipan-Nya yang harus dididik dengan sebaik mungkin. Dan benarlah bahwa mengurus anak itu mudah, tapi mendidiknya menjadi anak yang baik itu yang sulit. Sungguh, surga menanti para ibu yang mendidik anaknya menjadi para pejuang Islam.

Aku memang belum pernah merasakan apa yang seorang ibu rasakan. Saat meregang nyawa demi kelahiran buah hatinya. Saat anaknya sakit sedang persediaan uang menipis. Saat harus menghidupi keluarganya tanpa seorang suami di sisi.

Aku hanya mencoba memahaminya. Tapi aku sadar, mudah saja bagiku untuk mengamati dan mengomentari setiap kelakuan seorang ibu. Takkan pernah bisa disamakan dengan mereka yang harus terjun langsung untuk mengurus sekaligus mendidik seorang anaknya. Tapi setidaknya, kisah di atas memberikan pelajaran yang berarti untukku. Sebuah bekal untuk menjadi ummul madrosah bagi anakku kelak. (Zahwa az Zahra)


Tulisan ini diposting di eramuslim pada Senin, 07/03/2011 pk. 09:49 WIB. Untuk bekalan diri sendiri
Read More..

Si Cantik Christ

Christ. Sebut saja namanya demikian. Aku mengenalnya saat duduk di bangku kelas 3 SMA. Wajahnya cantik. Agak-agak oriental. Rambutnya lurus, panjang, dan selalu tergerai. Dia pintar dan baik hati. Sempurna. Ah, tepatnya hampir sempurna, seandainya dia adalah seorang muslim.

Aku sejatinya tidak terlalu dekat dengan Christ. Tapi yang aku ingat, tema seputar kecantikan tidak pernah absen dalam obrolan kami. Dia seringkali bertanya, “Gimana penampilanku?” atau “Aku kelihatan gemuk nggak?” Dan pertanyaan sejenisnya. Kadang, aku suka heran dengan kekhawatirannya. Duh, Christ, bagaimanapun penampilanmu, kamu selalu tampak cantik kok?!

Di akhir kelulusan kami, aku kemudian mengetahui sebuah fakta. Dia mengidap bulimia. Suatu penyakit yang umum diderita kaum perempuan. Mereka berusaha mengeluarkan kembali apa yang mereka makan. Mengorek-ngorek tenggorokan agar makanan di lambung dapat dimuntahkan. Tujuannya satu. Agar tubuh mereka tetap langsing. Hmmpf, padahal kenyataannya justru sebaliknya. Hal tersebut hanya akan menyiksa tubuh dan kondisi psikologisnya.

Aku tak tahu lagi sejauh mana perkembangan penyakitnya itu. Kami memilih jurusan yang berbeda. Christ kuliah di Bandung, sedangkan aku memilih kuliah di Jakarta. Tapi setahun setelah lulus, kami dipertemukan kembali dii dalam bis milik kampusku. Ternyata dia tak meneruskan kuliahnya di bandung. Kini Christ satu almamater denganku, meski kami tetap berbeda jurusan. Dan satu hal lagi, dia sudah sembuh dari penyakitnya. Christ kembali menjadi si cantik yang dulu kukenal. Tanpa pusing memikirkan berat badannya yang bertambah atau berkurang.

Empat tahun tak bertemu, aku mendengar kabar mengejutkan tentangnya. Tidak secara langsung. Tetapi kuperoleh saat chating dengan seorang sahabat yang juga sekelas denganku dan Christ.

“eh..si Christ pake jilbab, Ay.
heheu
masuk islam”

Begitulah pesannya. MasyaAllah, sungguh kejutan yang membahagiakan. Ingin rasanya bertemu kembali dengan Christ. Pastinya, dia akan semakin terlihat cantik. Dengan hijab yang menutupi auratnya. Dan hati yang kini tlah benderang oleh cahaya Islam.

Allah,, Engkau memang yang Maha Mengetahui kapan hidayah itu hadir ke dalam diri makhluk-Mu..


Depok, 8 November 2010


Tulisan ini diposting di eramuslim pada Selasa, 09/11/2010 pk. 14:08 WIB. Tulisan yang lahir setelah mendengar berita bahagia dari seorang saudari seiman.
Read More..

Aku Rela Dipoligami

Tidak seperti tatsqif yang sebelumnya, tatsqif bulan ini cukup banyak dihadiri peserta. Suamiku yang biasanya duduk di shaff kedua, kini duduk agak ke belakang. "Emang temanya apa sih mbak?" tanyaku pada seorang panitia akhwat yang kukenal. "Kewajiban Membentuk Rumah Tangga Islami Bagi Seorang Muslim." jawabnya sembari memberiku hand out materi pagi ini. Oalah.. Pantas saja. Tema tentang munakahat memang lebih menarik ketimbang permasalahan umat sepertinya. Dan tanpa menunggu lagi, acara pun dimulai.

Selama satu jam sang ustadz menjelaskan tentang urgensi menikah. Beliau mengatakan bahwa menikah juga merupakan bagian dari dakwah. Sesi tanya jawab pun menjadi bagian yang ditunggu-tunggu oleh mereka yang masih lajang. Aku hanya bisa tersenyum saat seorang peserta ikhwan menodong sang ustadz dengan banyak pertanyaan. Alhamdulillah. Aku bersyukur bahwa kewajiban itu telah kupenuhi. Lima tahun sudah usia pernikahan kami. Kehadiran seorang anak perempuan sudah cukup melengkapi kebahagiaanku sebagai seorang istri juga ibu.

Ternyata, peserta akhwat tidak kalah semangatnya. Beberapa akhwat menunjuk tangan sedangkan yang lain menyodorkan kertas untuk diberikan kepada sang ustadz. Dan aku tertarik menyimak pertanyaan seorang akhwat yang membelakangiku. "Ustadz, kita tahu bahwa jumlah wanita lebih banyak dibanding pria. Fenomena saat ini, banyak akhwat yang belum menikah sedangkan usianya terbilang tua di mata masyarakat. Belum lagi para ikhwan yang inginnya menikahi akhwat yang usianya lebih muda dari mereka. Adakah solusi untuk itu?" katanya.

Wah, pertanyaan ini tak pernah kupikirkan. Aku tahu jumlah wanita begitu mendominasi, yang belum menikah pun kini terus bertambah jumlahnya. Tapi aku memang tak pernah berpikir jauh untuk mencari solusi. Paling cuma ngompor-ngomporin yang belum nikah. Sepertinya sang ustadz pun agak kesulitan untuk menjawabnya. "Emm,, begini.. Memang hal ini sudah menjadi permasalahan yang dibicarakan, tapi belum ada solusinya. Kalaupun meminta setiap pria untuk berpoligami susah juga. Itu kan hak masing-masing individu. Kebanyakan nggak mau dengan alasan takut sama istrinya. Ada juga yang alasannya belum siap secara materi. Padahal, waktu di jaman Rasulullah, yang belum makmur justru disaranin untuk menikah hingga makmur."

Jawaban sang ustadz sekaligus menutup tatsqif pagi ini. Suamiku sudah menunggu di parkiran. Kupasang helm dan mengambil posisi duduk di jok belakang. Sepanjang perjalanan aku kembali terngiang materi tatsqif itu. Poligami. Benarkah itu solusinya? Teringat hal ini pernah menjadi isu nasional hanya karena seorang dai kondang memilih untuk berpoligami. Ibuku pun sampai bertanya padaku, "Kamu mau nggak dipoligami? Mama sih nggak mau. Setiap wanita pasti akan merasakan sakit kalo dimadu." Aku belum menjawab pertanyaan ibuku hingga kini. Sejak menikah, suamiku pun juga tidak pernah mengungkit-ungkit soal poligami. Nyaman. Hidupku sudah bahagia bersamanya. Haruskah hatiku terluka oleh kehadiran wanita lain? Ah, bahkan ini hanya dugaan yang turun temurun diceritakan oleh para wanita yang sejatinya belum pernah dipoligami.

Bahasan poligami memang tidak ada habisnya. Hal itu pernah kembali mencuat saat novel dan film Ketika Cinta Bertasbih muncul. Saat itu, seorang Anna Althafunnisa yang begitu shalilah mengajukan permintaan untuk tidak ingin dipoligami. "Aku hanya ingin seperti Fatimah, putri kanjeng Nabi yang seumur hidupnya tidak pernah dimadu oleh suaminya Ali bin Abi Thalib.." Pernyataannya seolah meyakinkan para akhwat untuk mengikuti jejaknya. Banyak yang dengan lantang berkata, "Tidak, Terima kasih.." saat ditanya pendapatnya tentang poligami.

Yaa Rabb, aku teringat kembali dengan wanita-wanita yang belum menikah itu. Pastinya mereka juga memiliki keinginan untuk melahirkan anak-anak mereka didik menjadi generasi rabbani di masa depan. Bukankah nantinya akan semakin banyak penyeru-penyeru dakwah yang akan meneruskan ummi dan abi mereka? Anakku pun harus punya kawan seperjuangan yang bercita-cita menegakkan kalimat Allah di muka bumi.

"Mi, udah sampe nih. Kamu ndak mau turun?" Suamiku membuyarkan lamunanku. Sudah sampai rumah rupanya. Kubuka helm dan kuberikan padanya sambil berkata, "Bi, ummi rela kok kalo abi mau nikah lagi.."

Ah, akhirnya aku punya jawaban atas pertanyaan ibuku. Suamiku terdiam sejenak. Mungkin dia heran dan bertanya-tanya dalam hati, makan apa istriku tadi pagi. Lalu, suamiku hanya menanggapi dengan sederhana, "Emang ada yang mau jadi istri kedua?"

Hmmpf! Poligami memang bukan persoalan sederhana. Akupun memilih untuk menyudahi obrolan ini sejenak. Suatu hari nanti, aku pasti akan membahasnya kembali bersama suamiku. Mungkin saja ada solusi lain.


Tulisan ini diposting di eramuslim pada Minggu, 25/04/2010 pk. 07:32 WIB. Tulisan yang bagi sebagian orang cukup kontroversial, termasuk keluarga saya
Read More..

Cinta Maya: Witing Tresno Jalaran Soko Kulino

Kamu bilang, "ini cinta". Ah, sepertinya kamu terlalu cepat menyimpulkan, saudariku. Hanya karena kamu kagum pada kepribadiannya: pintar, shalih, bijaksana, memikatmu dengan tulisan-tulisannya, lalu dengan mudah kamu mengatakan bahwa kamu sedang dimabuk asmara. Ya, sepertinya kamu memang benar-benar mabuk. Dan itu tidak baik sebenarnya untuk tubuhnya, terlebih hatimu.

Tidakkah kamu sadar bahwa pengetahuanmu tentangnya hanya secuil? Dia orang asing yang bahkan belum pernah kamu temui. Bagaimana bisa kamu menghadirkan cinta pada si maya? *meski kamu selalu meyakinkanku, "sosoknya ada, meski aku belum pernah menemuinya"* Hmm.. Atau mungkin kamu terjebak pepatah Jawa: witing tresno jalaran soko kulino? Yasudahlah. Aku pun tak berhak menyalahkan fitrahmu. Hanya, jangan kau pupuk cintamu itu. Karena, belum saatnya taman hatimu bersemi oleh cinta semu.

...

Tak lama setelah itu kamu berkata, "cintaku pudar". Ah, aku sudah menduganya. Cinta yang kamu bangun di luar ikatan pernikahan memang tak akan memberi jaminan kesejatian. Sepertinya aku pun mulai sepakat dengan pepatah jawa itu: witing tresno jalaran soko kulino. Ada cinta karena terbiasa. Pudarnya cintamu pasti karena intensitas yang tak lagi terjalin.

Jika kamu ingin memetik buah hikmah, ambillah dari pohon kehidupanmu. Sesungguhnya, kejadian ini bisa memberikan banyak pelajaran. Jangan lagi kamu terjebak oleh cinta semu. Kurangi intensitasmu dengan lawan jenismu. Meski mungkin hatimu sudah kuat menahan serangan virus merah jambu, kamu tetap tidak dapat menjamin jika dia terkotori oleh penyakit hati.

"terima kasih" katamu, menutup perbincangan kita. Seharusnya kamu tak perlu berterima kasih. Sudah menjadi hakmu untuk mendapatkan nasihat dari saudarimu. Dan seandainya kamu tahu bahwa bukan hanya kamu yang mengalaminya. Saudariku yang lain pun bercerita hal yang serupa. Jatuh cinta dengan teman dunia maya. Bahkan pernah ku dengar kisah nyata seorang pria beristri yang menyatakan cintanya pada seorang gadis yang dikenalnya melalui dunia maya. Astaghfirullah. Kok bisa yaa? Aku sungguh tak menyangka saat mendengarnya.

Kenyamanan yang dibangun selama interaksi, ditambah intensitas yang berlebih, mungkin dua faktor itu yang menumbuhkan benih cinta. Ah, cukuplah. Cukup kejadian ini menjadi pengingat, untukku dan yang lain agar kita senantiasa menjaga hati-hati kita untuk tidak mudah jatuh cinta. Sudah saatnya kita membangun cinta, menebarkan kasih sayang kepada sesama. Bukan atas nafsu belaka, tapi lebih karena kecintaan yang mendalam kepada Sang Pemilik Cinta, Allahu Rabbuna..


Tulisan ini diposting di eramuslim pada Jumat, 19/03/2010 14:20 WIB
Read More..

Saturday, August 27, 2011

Ekspektasi

Ramadhan ke-28,

Sore itu saya melanjutkan aktivitas membaca al Quran. Ngejar setoran tepatnya. Beberapa hari terakhir bacaan saya jauh dari targetan. Ramadhan sebentar lagi akan berakhir dan saya ingin sebelum Syawal menyapa saya sudah mengkhatamkan al Quran. Sayangnya saya harus kalah menghadapi tubuh saya yang tak bersahabat. Flu dan batuk teramat mengganggu kegiatan membaca saya. Maka, waktu saya banyak terpakai untuk tidur.

Baca, baca, baca! Itulah yang kemudian saya lakukan. Tak memikirkan berapa lembar lagi agar saya mencapai juz baru atau berapa halaman lagi agar saya bisa mengganti surat yang saya baca. Saya pun terbantukan oleh al Quran saya yang tak memberikan info jumlah juz yang telah terlewatkan. Hingga kemudian ketika saya hendak mengganti Al Quran (salah satu cara agar saya betah membaca Al Quran), saya menemukan fakta bahwa telah 3 juz saya baca dalam tempo waktu yang cukup singkat.

MasyaAllah.. Awalnya saya tak berharap bahwa bacaan saya bisa secepat itu. Saya hanya ingin terus membaca al Quran. Melupakan sejenak sudah berapa juz atau berapa halaman. Baca dan terus membaca. Dan betapa bahagianya saya ketika ternyata hasilnya sangat memuaskan. Mungkin begitulah ketika kita memperoleh sesuatu yang awalnya tak terlalu kita harapan. Kesenangan pasti akan hadir berkali-kali lipat.

Selepas maghrib, seorang tetangga datang mengantarkan gamis yang saya minta untuk di-resize. Gamis itu adalah gamis peninggalan almarhumah ibu saya. Setelah sekian lama tersimpan di lemari, akhirnya saya berkesempatan juga untuk membawanya ke tukang jahit. Adik saya yang mengantarkan gamis itu dengan membawa serta baju sebagai contoh ukuran yag diinginkan.

Saya teramat bahagia saat gamis berwarna merah itu sampai di tangan. Tapi seketika itu pula saya dibuat kecewa oleh sebab hasil make over gamis tersebut. Ukuran lengan dan badannya memang pas, sesuai dengan yang saya inginkan. Tapi yang membuat saya sulit sekali melapangkan hati adalah ketika ternyata pakaian ibu itu kini tak lagi bisa disebut sebagai gamis. Panjangnya telah berubah, dari sebetis menjadi sepaha.

Wajah kecut saya tergambar jelas oleh adik saya. Tentu saya tak bisa menyalahkannya. Ia tidak tahu ukuran panjang gamis itu. Ia hanya mengikuti instruksi saya, "Tolong dijahit sesuai dengan ukuran baju ini (baju yang saya jadikan contoh, dengan ukuran panjang yang berbeda)." Ikhlas.. ikhlas.. ikhlas.. Itulah yang kemudian terus saya gaungkan di pikiran saya. Mungkin saya memang berekspektasi terlalu tinggi dengan gamis itu. Hingga ketika hasilnya tak sesuai dengan kenyataan, saya menjadi begitu kecewa.

Sungguh, dua peristiwa yang berbeda telah sukses mengajarkan saya tentang satu makna. Ekspektasi. Ya, ini tentang harapan yang membersamai sebuah tindakan. Tentang ekspektasi yang harus disandarkan sesuai dengan porsinya. Tidak berlebihan dan jangan sampai terlalu biasa. Dan untuk setiap peristiwa yang telah terjadi, saya berharap agar Allah menjadikan saya sebagai seseorang yang ikhlas dengan ketetapanNya.

Read More..

Saturday, January 8, 2011

Keroncong Dalam Perut Saya

Hari ini, seperti biasa, jadwal makan saya berantakan lagi. Emm, kalau diingat-ingat, saya memang nggak punya jam khusus untuk makan. Kalau merasa perut sudah mulai keroncongan, baru deh makan. Eeh? Bukankah kita sering mendengar ungkapan: “Makanlah ketika lapar dan berhentilah sebelum kenyang.” (Dulu saya kira ini adalah hadits, ternyata bukan euy!)

Saya “sarapan” pukul 11 siang. Hmm, sepertinya terlalu siang yaa? Pagi ini saya tak sempat sarapan. Ah, lebih tepatnya tidak menyempatkan waktu untuk sarapan. Memilih ke luar rumah dengan perut kosong. Padahal saat itu saya akan berolahraga renang. Maka, aktivitas makan pagi itu baru dilakukan saat di kolam renang. Itupun dengan mie goreng plus telur. Meski kurang bergizi, tapi cukuplah untuk menghangatkan tubuh dan mengubah keroncong di dalam perut saya menjadi alunan musik klasik. ^o^

Sampai rumah pukul 3 sore tapi saya belum berselera makan. Maka, “makan siang” pun baru terlaksana pukul 5 sore saat perut saya beralarm “krucuk..krucukk..” (Keroncongnya sudah selesai manggung kayaknya, hehe). Kali ini menurut saya makanan yang disantap lebih bergizi. Nasi putih dengan sayur labu plus semur tahu. Tak lupa pelengkap yang menambah nikmat: sambal dan kerupuk. Aih, agaknya harga cabe tak berpengaruh terhadap ketersediaan sambal di rumah.

Makan itu normalnya sehari 3 kali. Dan hari ini saya menjadi bagian dari kenormalan itu (biasanya makan sesuai mood euy!). Awalnya saya belum memiliki keinginan untuk makan, lantas “diteror” oleh Cang Biah (kakak ayah) untuk makan. Ah, baiklah, saya pun akhirnya memilih memasak mie goreng plus telur (lagi?).

Alhamdulillah. Perut saya sudah terisi kembali. Dengan ini batas kenormalan telah saya penuhi. Hingga masalah kemudian datang bersamaan dengan pulangnya abang saya beserta istri dan anaknya.

“Ini, martabak manis buat nCang, trus burger buat kamu..”



Oh, my Rabb! Bagaimana neh? Perut saya sudah penuh terisi. Tapi kakak ipar saya ternyata membawa buah tangan setelah jalan-jalan malam ini. Dan burger itu menggoda lidah saya. Terlihat sangat enak dan masih panas pula. Kalau disimpan untuk esok pastilah nggak enak. Masih sanggup makan juga sih.. Menyebalkan! Saya tak kuasa melahap cheese burger itu. Saya kekenyangan. Tak ada musik jazz ataupun musik klasik. Tak ada ruang untuk mereka memantulkan bunyi. Hiks..


Untuk diingat di lain hari:
“Tidak ada satu wadah pun yang diisi oleh Bani Adam, lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah baginya beberapa suap untuk memperkokoh tulang belakangnya agar dapat tegak. Apabila tidak dapat dihindari, cukuplah sepertiga untuk makanannya, sepertiga lagi untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya yang bersumber dari Miqdam bin Ma’di Kasib)
Read More..