Monday, June 3, 2013

Sketsa #2 | Mempersiapkan Kematian

Telepon di rumah berdering, mengabarkan berita duka untuk adik saya. Kakak kelasnya di ekskul karate dulu meninggal dunia ba'da shubuh tadi. Belum diketahui penyebab kematiannya. Saya dan adik yang sebelumnya sudah memiliki agenda bersama di pagi hari akhirnya memutuskan untuk takziah terlebih dahulu ke rumah almarhum.

Tiba di rumah almarhum sekitar pukul sebelas pagi. Jenazah sudah dalam proses penguburan di TPU terdekat. Awalnya kami ingin menyusul ke tempat pemakanan, namun dikabarkan kalau prosesi penguburan hampir selesai.  Saya, adik, dan beberapa temannya memutuskan untuk menemui ibu almarhum yang tak ikut serta ke pemakaman.

Di ruang tamu mereka, duduk ibu almarhum dengan matanya yang sembab, mencoba menahan getir yang mendalam.

Emosi ibu itu masih belum stabil. Sesekali ia mampu meredam tangisnya. Hanya bahu yang tampak bergetar dan napas berat yang coba ia tahan. Setiap kali pelayat datang memberikan ucapan bela sungkawa kepadanya, Sang Bunda segera membalasnya dengan memohonkan maaf untuk puta yang ia cintai itu. Namun, ada kalanya ia tak kuasa menahan rasa kehilaangan dan menumpahkan tangisnya pada beberapa pelayat yang cukup dekat dengannya atau sang anak.

"Doakan saya, Bu Haji. Biar tabah. Biar sedih saya nggak berlarut," kata Si Ibu terisak. Perempuan yang disebut Bu Haji itu merangkulnya dan memberikan kata-kata penguat.

"Cobaan saya berat, Bu," tambahnya.
Yang segera dibalas segera oleh Bu Haji, "Dan pahala atas ketabahan menghadapi cobaan itu akan seberat itu juga. Itu janji Allah."

Dari cerita keluarga terdekat, ternyata diketahui bahwa setahun sebelumnya, Sang Bunda terlebih dulu ditinggal pergi suaminya, ayah almarhum. Adik yang duduk di samping saya juga menambahkan, beberapa tahun yang lalu, ibu almarhum pernah dirawat di rumah sakit hingga masuk ruang ICU. Teman adik saya tersebut saat itu pernah bertanya bagaimana dulu adik saya menghadapi kondisi yang sama.

Saya mencoba memahami perasaan SI Ibu. Pasti rasanya begitu berpukul ketika harapan hidupnya kembali Allah hadirkan, hingga ia bisa berkumpul kembali dengan keluarga dalam kondisi sehat wal'afiat, tapi kemudian Allah justru memanggil lebih dulu suami dan anaknya.

Melihat pemandangan mengharukan itu sesungguhnya membuat hati saya teriris. Hampir saja airmata saya ikut jatuh. Saya tahu rasa kehilangan itu. Tapi ujian saya mungkin memang tak lebih berat darinya. Mungkin, bagi orangtua, akan lebih memilih meninggalkan anaknya lebih dulu, daripada harus ditinggal pergi anak mereka. Apalagi seorang ibu yang notabene mengandung hingga membesarkan sang anak dengan didikannya.


Saya jadi teringat ucapan adik saya: "Kita mungkin saja telah siap menghadapi kematian diri. Tapi belum tentu siap menghadapi kematian orang-orang yang kita cintai."

Ternyata, persiapan menghadapi kematian itu bukan hanya menyiapkan diri dan mengumpulkan bekal amal untuk  penentu kehidupan di akhirat nanti. Mempersiapkan kematian orang-orang terdekat yang kita cintai, entah ayah, ibu, kakak, adik, suami, anak, sahabat, atau siapapun juga penting adanya. Karena di sana juga terdapat ujian keimanan yang harus kita hadapi. Apakah kita mampu bersabar dan menerima kenyataan takdir.

Bahwa, seperti yang diingatkan kembali oleh Bu Haji kepada para pelayat yang hadir, "Kita ada yang punya yaa, Bu, yaa. Kalau nyawa diambil, berarti ada yang lebih sayang lagi."


***
di balik 3 jendela,
3 Juni 2013 pk. 02.39 wib
"jika waktu tlah berakhir, teman sejati hanyalah amal...."

gambar dari sini
Read More..

Sketsa #1 | Penghafal Quran

Sketsa 1

Kalau ditanya, di manakah tempat favorit saya? Maka, salah satu tempat favorit yang akan saya sebutkan adalah Masjid Ukhuwah Islamiyah (MUI). Ada banyak kesan yang saya dapatkan sejak pertama kali ke sana dengan seragam abu-abu. Bagi saya, MUI itu sejuk luar dalam. Selain ditanami pohon-pohon yang rindang, di sebelah selatan masjid juga terdapat danau yang membawa kedamaian. Itu baru penampakan luarnya. Yang lebih menyejukkan tentu adalah ruh kebaikan yang menyeruak hingga ke setiap sudut masjid kampus UI ini. Ada begitu banyak hikmah dan kesan yang saya petik hanya dengan melihat aktivitas yang terjadi di dalam masjid tersebut. Salah satunya tentang interaksi beberapa orang yang asyik masyuk dengan al Quran, entah itu sedang membaca Sang Kitab Suci atau menghafal dan setoran hafalan.


Sketsa 2

Lepas shalat zuhur, saya duduk di dekat pagar kayu di lantai dua, menunggu kehadiran beberapa orang kawan. Di sebelah kanan saya, terdapat dua orang perempuan, entah siapa. Kalau dulu saat masih kuliah masih bisa menegur banyak orang. Sekarang kalau bisa menyapa dan disapa saja sudah bersyukur. Kebetulan saja.

"Bisa nggak, yaa?"
"Dicoba aja. Setorannya dikit-dikit dulu juga nggak apa-apa."

Begitulah percakapan yang sayup-sayup saya dengar di antara dua orang perempuan tersebut. Saya lantas mengamati mereka. Yang satu membawa buku juz 30 yang memuat salah satu surat yang akan ia setorkan ke temannya. Lalu, setoran hafalanpun dimulai.

Sketsa 3

Waktu sudah menunjukkan pukul satu sedangkan kawan yang saya tunggu belum menampakkan ujung jilbabnya. Dua orang perempuan yang sebelumnya di samping saya sudah pergi entah kemana, berganti dengan dua perempuan yang lain yang juga entah siapa. Dan kali ini, saya bukan tak sengaja mendengar obrolan orang lain, tetapi memang sengaja mendengarnya. Oh, Yaa Allah, maafkan saya. Tapi obrolan mereka memang begitu menarik untuk disimak.

"Alhamdulillah udah selesai surat al Baqarah-nya."
"Hwaaa... hebat. Itu ngapalnya one day one ayat gitu yaa?"
"Nggak juga sih. Kan ada juga tuh satu ayat yang sampe satu halaman."
"Iya, bener.. Hmm.. al Baqarah kan kalo nggak salah 2 juz lebih yaa?"
"Iya. Ini aku juga berharap banget hafalannya terjaga. Jangan sampe habis dihafal malah hilang lagi."
"Aku sih baru hafal juz 30. Kamu juga waktu itu dari juz belakang dulu yaa?"
"Nggak. Kalo aku ngapalnya langsung dari depan. Soalnya lebih enak gitu. Beda-beda sih tiap orang. Tapi kalo al Baqarah itu menurut aku lebih gampang diapalnya karena ayat yang satu bisa jadi clue buat ayat selanjutnya. Kalo di juz 30 kan beda-beda, misal dari syam, trus ke najm.."
"Nanti bulan Ramadhan mau ah nargetin hafal al Baqarah..."

MasyaAllaah.. indahnya jika obrolan itu diisi dengan saling bertanya, "Sudah hafal berapa juz?"

Sketsa 4

Satu orang kawan saya sudah datang. Sambil menunggu yang lain lagi, saya bertemu dengan adik kelas saya di SMA dulu. Seorang adik yang membuat saya begitu bersemangat ketika berjumpa dengannya, terlebih karena sebuah status yang ia tulis di Faceboook kemarin: "setengah lagi! Setahun bisa lah..  :D"

"Cieee... yang setengah lagi," celetuk saya sambil menggenggam erat tangannya.
"Hehe... emang tau maksudnya apa, Kak?"
"Iya yah..?! Padahal nggak ditulis tentang apa. Ah, tapi aku mah yakin, ini pasti tentang hafalan kamu kan?"
"Iya sih.."
"Nah, kan... Baarakallah yaa....!"
"Hihi... Apa sih kak Ai kayaknya seneng banget?"

Aduh, gimana saya bisa kalem-kalem aja kalau berhadapan dengan seorang calon hafidzah Quran???

Sketsa 4

"Jadi, hal pertama yang harus diperhatikan terkait amalan yang kita lakukan adalah niat dan keikhlasan kita dalam menjalankannya. Misalnya ketika menghafal Quran, tujuannya apa? Karena di yaumul hisab nanti, yang akan pertama kali masuk neraka, salah satunya justru penghafal Quran. Karena ternyata ia menghafal Quran hanya agar dikenal sebagai seorang hafidz, bukan untuk mengharap keridhaan Allah."

Sketsa 5

Saya menghampiri jamaah shalat Maghrib dan bergabung sebagai makmum. Perempuan yang menjadi imam shalat saya ini begitu tartil membaca surat Ar-Rahmaan. Ah, tentu bukan karena saya hafal keseluruhan isi suratnya. Saya hanya hafal satu ayat yang diulang beberapa kali: fabiayyi 'alaa~ irabbikumaa tukadzdzibaan.

Bukan Qulhu atau Qulya, tapi ar-Rahmaan. Pasti rasanya nikmat sekali membaca surat yang tak biasa dalam shalat kita.

.
.
.

5 sketsa dengan tema yang sama dalam sehari. Maka, apalagi yang kau tunggu, Ai? Ganbatte yo!!

***
di balik 3 jendela,
2 Juni 2013 pk. 12.31 wib
#SemangatNaikLevel b^_^d #UASbulanJuni >_<"

gambar dari sini

Read More..

Wednesday, May 29, 2013

Terpaksa Berjilbab itu Perlu

Abis nostalgia zaman SMP dan SMA lewat foto-foto di album kenangan. Lalu tersadar bahwa ada perubahan penampilan saya yang begitu nyata.

Dulu rambut masih tergerai karena belum tertutup hijab. Menjelang kenaikan kelas 2 SMA baru memutuskan berjilbab, itupun awalnya karena terpaksa -terpaksa nerusin pake jilbab karena kadung dikasih selamat sama keluarga & tetangga di Hari Raya padahal saya masih coba-coba, haha-

Siapa yang tahu kapan hidayah Allah datang menghampiri? Meski saya saat itu masih raguragu pake jilbab, masih banyak tingkahlaku yang harus diperbaiki, masih terbatas jumlah baju muslim di lemari -bahkan saya beli seragam sekolah H-1 sebelum masuk sekolah pasca libur lebaran. Sepanjang SMA-pun gak beli baju olahraga lagi. Saya pake baju senam jantung milik ibu yang kegedean :P-.

Tapi keterpaksaan itulah yang akhirnya membuahkan keistiqomahan hingga kini -dan moga hingga nanti, ketika jasad terpisah dari ruh, aamiin.

Dear, sodari.. Ternyata, semua ada prosesnya. Jangan biarkan paradigma "Jilbabin hati dulu" mendominasi pikiran kita. Bagaimanapun, Allah-lah yang pada akhirnya Maha Berkehendak memberikan hidayah. Saya hanya bisa mendoakan sodaria yang belum berhijab agar dimantapkan hatinya untuk menjalankan kewajiban seorang muslimah ini.

Salam semangka! :D

Published with Blogger-droid v2.0.10
Read More..

Monday, May 27, 2013

Mentoring: Di Antara Yang Pergi Dan Menghampiri

Suatu siang di rumah seorang kawan seangkatan.

"Gue kan udah nggak liqo lagi. Males aja. Nggak ada sesuatu yang menarik gue untuk hadir di sana."

Lalu, setelah beberapa pemikiran dan penampilannya berubah, kuceritakan hal ini pada kawanku yang lain, masih dalam satu angkatan yang sama. Namun, yang kudapat adalah jawaban yang mengejutkan.

"Aku juga udah nggak liqo lagi."

Bukan hanya satu dua. Kawan yang lainpun menyatakan kebosanannya. Ah, siapa yang salah? Mad'u-nya? Murabbinya? Atau Manhajnya?

Terkenang dulu, hampir sebelas tahun yang lalu, saat kami pertama kali mencicipi majelis ilmu bernama mentoring. Meski awalnya terpaksa hadir karena sebuah kewajiban dari sekolah, namun seiring berjalannya waktu, mentoring telah menjadi kebutuhan yang tak terpisahkan dari kehidupan.

Dan waktupun bergulir. Semangat mentoring nyatanya tak melulu abadi. Namun, di antara kabarkabar menyedihkan itu, ternyata Allah juga memberiku kabar bahagia.

"Kak, besok kita mentoring di mana?" tanya mentee-ku.

Lalu, di sebuah grup Whatsapp, ada pula yang mengajukan permintaan.

"Kak, aku mau mentoring. Selama ini cuma mengamati aktivitas temanteman dan kakakkakak yang mentoring. Aku tertarik. Aku pengen banget mengisi waktu luangku dengan kegiatan yang menambah ilmu dan menguatkan ruhaniku."

Terakhir, sebuah chat di FB kemarin malam seolah menguatkanku bahwa harapan itu masih ada. Ya, masih ada orangorang yang ingin dibina dalam sebuah majelis bernama mentoring.

"Kak, aku mau curhat," katanya membuka percakapan kami.

"Aku boleh nggak mentoring sama kakak lagi? Udah satu semester ini aku nggak mentoring. Rasanya hampa."

Yaa Allah, betapa bahagianya aku mendengar berita dari adik kelasku di SMA dulu. Aku tak ingin melewatkan kesempatan ini. Ingin kurangkul mereka yang masih bersemangat menuntut ilmu, salah satunya melalui lingkaran kecil ini.

Maka, bimbing aku, Yaa Rabb, agar senantiasa meningkatkan keimanan dan keilmuanku. Istiqamahkan aku di jalan-Mu, duhai Sang Pemilik Hati, agar mampu bertahan ketika badai ujian menerjang. Izinkan aku, bersama adikadikku yang tersayang, menggapai keridhaanmu.

***
Di balik 3 jendela,
27 Mei 2013 pk. 08.30 wib
"fawatstsiqillahumma raabithataha..."

Published with Blogger-droid v2.0.10
Read More..

Sunday, March 3, 2013

Doa dari Sang Ustadzah


Baru saja saya tiba di lantai dua Istora Senayan, pandangan saya kemudian tertuju pada sesosok perempuan berbusana abu muda. Meski hampir setahun tak bertemu, tapi saya masih mengingat betul wajah teduhnya.

"Ustadzah," sapa saya sembari menepuk pundaknya. Ustadzah yang saya maksud adalah Ustadzah Nel, pembimbing saya sewaktu belajar tahsin di LTQ Utsmani.

"Hei, apa kabar?" balasnya ramah. Beliau mungkin tak ingat nama saya. Wajar. Murid-muridnya ada banyak. Lagipula, mengingat wajah saya saja sudah cukup bersyukur.

"Sekarang di mana?"
"Di al Hikmah, Ustadzah."

Pertanyaan itu jelas menjurus ke tempat saya belajar al Quran saat ini. Saya memang sudah tak belajar di Utsmani lagi. Sempat menduduki level yang sama dua kali berturut-turut hanya karena tidak bisa ikut ujian. Semangat yang menciut pasca teman seperjuangan memilih untuk berhenti belajar di LTQ Utsmani membuat saya sering bolos yang berakibat presentase kehadiran minim. Sempat vakum satu semester hingga akhirnya saya memutuskan belajar tahsin tilawah lagi, meski di lembaga yang berbeda.

"Sudah berapa juz?"

Jleb! Kali ini tentu pertanyaan seputar juz dalam AlQuran yang sudah saya hafalkan. Saya hanya bisa membela diri dengan mengatakan masih berada di level takhosus (pra-tahfidz) meski dalam hati menyadari bahwa jika saja saya tak patah arang dulu, mungkin saya sudah bisa berada di level tahfidz sekarang.

Ustadzah Nel hanya mengangguk namun sebelum kami berpisah, ustadzah memberi saya sebait doa:
Moga bisa jadi hafidzah yaa.

MasyaAllah. Pertemuan itu begitu singkat. Obrolannya pun tak sampai lima menit. Tapi saya beruntung mendapat doa yang begitu indah dari Sang Ustadzah. Ustadzah Nel selalu mengingatkan saya tentang suaranya yang merdu ketika membaca Al Quran. Beliaulah yang mengajarkan saya dan teman-teman untuk memperlakukan al Quran dengan mulia: tidak memegang al Quran dengan tangan kiri, bahkan untuk membalikkan halaman sekalipun. Semoga keberkahan menyelimuti keseharian hidup beliau. Aamiin.

Published with Blogger-droid v2.0.10
Read More..